JABRI Law Firm

Pendapat Hukum Jakaria Irawan, S.H., M.H. Terkait Legalitas dan Pertanggungjawaban Program MBG di Ketapang

Ketapang – Polemik terkait legalitas dan keamanan pangan dalam pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Ketapang menuai sorotan serius dari kalangan praktisi hukum. Jakaria Irawan, S.H., M.H., menegaskanbahwa ada sejumlah aspek hukum yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan program ini, terutama menyangkut legalitas usaha, keamanan pangan, hinggapertanggungjawaban hukum para pihak yang terlibat.

Menurutnya, dari aspek legalitas usaha, setiap badan usaha atau penyelenggara kegiatan diwajibkan memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai syarat minimum legalitas, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentangCipta Kerja jo. PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

“Fakta bahwa beberapa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG di Ketapang belum memiliki NIB jelas merupakan pelanggaran administratif. Kondisi inimembuat kegiatan tersebut berpotensi dikualifikasikan ilegal secara hukum, denganrisiko sanksi berupa teguran, pembekuan, bahkan penghentian kegiatan usaha.

Selain itu, aspek keamanan pangan juga menjadi perhatian. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan serta Permenkes No. 1096 Tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga, setiap penyelenggara makanan wajib memilikiSertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).

“Tanpa SLHS, kualitas dan keamanan pangan tidak bisa dijamin. Apalagi dengan adanya dugaan kasus keracunan di Ketapang, hal itu bisa dikategorikan sebagaikelalaian yang berimplikasi serius terhadap kesehatan masyarakat.

Lebih jauh, Jakaria menekankan pentingnya sertifikasi halal sebagaimana diaturdalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Menurutnya, ketiadaan sertifikat halal bukan hanya masalah administratif, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap program pemerintah yang menyasar anak-anak sekolah.

Dalam konteks pertanggungjawaban hukum, Jakaria menyebut bahwa pengelola dapur dan yayasan penyelenggara MBG dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan:

• Pasal 1365 KUH PerdatatentangPerbuatanMelawanHukum,

• Pasal 205-206 KUHPmengenaitindakpidana yang menimbulkanbahaya terhadapkesehatanumum,

• sertaPasal 86-89 UU Panganterkaitsanksiadministratifhinggapidanabagi penyelenggarapangan yang lalai.

Tidak hanya penyelenggara, pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawabhukum. Mengingat MBG adalah program pemerintah, pengawasan dan pembinaandari Pemda menjadi kewajiban mutlak.

“Jika pemerintah daerah lalai dalam pengawasan, hal itu dapat dikategorikan sebagai maladministrasi. Masyarakat bahkan berhak mengadukan ke Ombudsman RI demi penegakan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” ujar Jakaria.

Kesimpulannya, kata Jakaria, program MBG di Ketapang yang belum sepenuhnya memenuhi aspek legalitas, keamanan pangan, dan sertifikasi halal berpotensi menimbulkan implikasi hukum serius.

“Penyelenggara terancam sanksi administratif maupun pidana, sementara pemerintah daerah menanggung tanggungjawab hukum dan etika atas pengawasan yang lalai. Karena itu, langkah cepat harus diambil, mulai dari pemenuhan seluruh izin usaha dan sertifikasi wajib, evaluasi mekanisme pengadaan pangan, hingga pengawasan ketat agar kejadian serupa tidak terulang,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *